GEMPA PALU DAN KESALAHAN PERENCANAAN WILAYAH


BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI PALU, PERPADUAN ANTARA ALAM DAN KETELODORAN MANUSIA: PENGEMBANGAN PUSAT EKONOMI YANG KETIDAKSESUAIAN DAYA DUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH.

Hasil gambar untuk GEMPA PALU
foto: Gempa dan Tsunami di Palu (2018) sumber : Liputan6.com

Kerentanan Kota Palu terhadap gempa, tsunami, dan likuifaksi telah lama diketahui pemerintah. Namun, kota ini dibiarkan tumbuh tanpa kendali, dengan penduduk mayoritas tak mengenal riwayat bencana di kotanya.
Kerentanan Kota Palu terhadap gempa bumi dan tsunami berulangkali disampaikan JA Katili, lulusan pertama doktor bidang geologi dari Institut Teknologi Bandung dan juga di Indonesia sejak 1970-an. Katili pula yang menamai sesar ini sebagai Palu Koro, karena membelah dari Teluk Palu di sebelah utara hingga ke Koro di sekitar Teluk Tondano sepanjang sekitar 1.000 kilometer.
Ketika menjabat Dirjen Pertambangan Umum pada tahun 1973-1984, Katili merintis pembentukan Badan Kerja Nasional Gempa Bumi. Alasan dia saat itu, banyak daerah di Indonesia rentan gempa bumi dan tsunami, namun studi tentangnya terbatas. Salah satu sumber gempa yang dikhawatirkan Katili adalah Kota Palu (Kompas, 20 Juli 1976).
Dalam buku biografinya, Harta Bumi Indonesia (2007), Katili menyebutkan, “Ada benarnya jika rakyat yang tinggal di Kota Palu takut ancaman tsunami karena kota tersebut berada di ujung patahan dan terletak di suatu cekungan tarikan pula.”
Katili mempertanyakan mengapa pemerintah waktu itu memilih Palu sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah pada tahun 1964. Namun, pengetahuannya tentang kerentanan bencana di Kota Palu tak bisa membendung Keputusan Pemerintah Pusat untuk menjadikan Kota Palu sebagai Kota Administratif sejak tahun 1978.
Albertus Christiaan Kruyt dan Nicoalus Andirani dalam bukunya (1912) menulis bahwa, Palu adalah “Kota Baru” yang letaknya di muara sungai. Sekalipun Kerajaan Palu disebut telah ada sejak tahun 1796, namun hingga era kolonial, Kota Palu masih belum berkembang. Belanda memilih menjadikan Donggala sebagai pusat Afdeling Sulawesi Tengah.
“Awalnya, orang-orang Kaili yang merupakan penduduk awal di kawasan ini memilih tinggal di dataran tinggi di sekitar lembah Palu,” kata arkeolog yang juga Wakil Kepala Museum Daerah Sulawesi Tengah, Iksam. Salah satu alasan penduduk lokal ini memilih tinggal di dataran tinggi, kemungkinan adalah perulangan tsunami di masa lalu sehingga melahirkan istilah ‘bombatalu’, atau pukulan tiga gelombang laut yang menghancurkan.
Dari aspek gempa bumi dan tsunami, kerentanan Kota Palu juga sudah tercantum dalam Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang disusun Pusat Studi Gempa Nasional (Pusgen) yang kemudian diluncurkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada September 2017.

Kerentanan likuifaksi Kota Palu sebenarnya juga sudah dipetakan. Laporan penelitian potensi likuifaksi Palu oleh Risna Widyaningrum Badan geologi, Kementerian Energi Sumber Daya Alam pada tahun 2012 menyimpulkan, sebagian besar memiliki potensi likuifaksi sangat tinggi karena lemahnya daya dukung tanahnya, selain dekatnya dari jalur patahan.

Hasil gambar untuk peta likuifaksi palu

Gambar: Peta Zona Bahaya Likuifaksi Palu 
sumber :Kompas Sains

Di antara daerah sangat rentan likuifaksi yang telah diidentifikasi di antaranya, Petobo. Seperti diketahui, Petobo termasuk paling parah mengalami likuifaksi sehingga menyebabkan 744 rumah hilang.

Hasil gambar untuk peta likuifaksi palu
gambar: Peta Citra Satelit Fenomena Likuifaksi Palu wilayah Petobo

Pencairan tanah atau likuifaksi tanah (soil liquefaction) adalah fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, misalnya getaran gempa bumi atau perubahan ketegangan lain secara mendadak, sehingga tanah yang padat berubah wujud menjadi cairan atau air berat.
Jika tekanan air dalam pori-pori cukup besar untuk membawa semua beban, tekanan itu akan berefek membawa partikel-partikel menjauh dan menghasilkan suatu kondisi yang secara praktis seperti pasir hisap. pergerakan awal beberapa bagian material dapat menghasilkan tekanan yang terus bertambah, mulanya pada satu titik, kemudian pada titik lainnya, secara berurutan, menjadi titik-titik konsentrasi awal yang mencair.
Fenomena ini paling sering diamati pada tanah berpasir yang jenuh dan longgar (kepadatan rendah atau tidak padat). Ini karena pasir yang longgar memiliki kecenderungan untuk memampat ketika diberikan beban, sebaliknya pasir padat cenderung meluas dalam volume atau melebar. Jika tanah jenuh dengan air, suatu kondisi yang sering terjadi ketika tanah berada di bawah permukaan air tanah atau permukaan laut, maka air mengisi kesenjangan di antara butir-butir tanah ("ruang pori"). Sebagai respon terhadap tanah yang memampat, air ini meningkatkan tekanan dan mencoba untuk mengalir keluar dari tanah ke zona bertekanan rendah (biasanya ke atas menuju permukaan tanah). Tapi, jika pembebanan berlangsung cepat dan cukup besar, atau diulangi berkali-kali (contoh getaran gempa bumi dan gelombang badai), air tidak mengalir keluar sesuai waktunya sebelum siklus pembebanan berikutnya terjadi, tekanan air dapat bertambah melebihi tekanan kontak antara butir-butir tanah yang menjaga mereka tetap saling bersentuhan satu sama lain. Kontak antara butir-butir ini merupakan media pemindahan berat bangunan dan lapisan tanah di atas dari permukaan tanah ke lapisan tanah atau batuan pada lapisan yang lebih dalam. Hilangnya struktur tanah menyebabkan tanah kehilangan semua kekuatannya (kemampuan untuk memindahkan tegangan sesar) dan fenomena ini terlihat seperti mengalir menyerupai cairan (maka disebut 'pencairan').
Kembali ke Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi di Palu dan sekitarnya.
Menurut sekretaris Badan Geologi Radmono Purbo, kajian likuifaksi di Kota Palu ini dilakukan setelah belajar dari dampak likuifaksi akibat gempa bumi yang terjadi di Padang Pariaman, Sumatera Barat, yang mengubur 400 orang pada 2009. “Setelah itu kami melakukan pemetaan likuifaksi di beberapa kota, termasuk Palu. Saya yakin, hasil kajian ini sudah disampaikan ke Pemerintah Daerah untuk menjadi pertimbangan dalam pembangunan,” ujarnya.
Namun, hingga terjadinya gempa bumi, mayoritas penduduk Kota Palu bisa dipastikan tak terpapar dengan informasi kerentanan kota mereka. “Selama ini, kajian-kajian risiko dan kerentanan bencana cenderung di suatu daerah diabaikan dan tidak dibuka, karena dianggap mengganggu investasi,” kata Kepala Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, Djati Mardianto.
Menurut Mardianto, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya bisa menjadi kendali untuk mengurangi dampak bencana, apabila dalam pelaksanaannya memperhitungkankajian-kajian tentang risiko. “Masalahnya, RTRW kebanyakan hanya berorientasi ekonomi. Sejumlah infrastruktur baru, misalanya Banda Yogyakarta juga dibangun di daerah rentan gempa dan tsunami, selain juga banjir,” katanya. Selain Bandara Yogyakarta ini, saat ini ada 16 bandara di Indonesia yang telah dipetakan berada di zona rawan tsunami (Kompas, 16 Juni 2014).
Belajar dari kejadian ini, pembangunan kembali Kota Palu harus betul memperhitungkan risiko bencana. Apalagi gempa merupakan siklus yang terus berulang. Tak hanya bagi Palu, itu seharusnya menjadi pelajaran bagi kota-kota lain yang kebanyakan tumbuh mengabaikan daya dukung lingkungan, sementara warganya tuna-pengetahuan tentang kerentanan tempat tinggalnya.

Sumber: Harian Kompas, ITB, Liputan6com, dan Wikipedia Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGINDERAAN JAUH: kelebihan dan kekurangan penginderaan jauh dan satelit penginderaan jauh

Persebaran Fauna Zona Oriental

makalah BIOGEOGRAFI: persebaran fauna zona paleartik